My Diary: Cerita Cabean (Bahasa Indonesia)
6:42 PM
Muballigh Hijrah ke-2, Tahun 2013.
Cabean, Tanjung Sari, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Alhamdulillah, buat
kali keduanya saya diberi tugas dakwah Muballigh Hijrah (MH) bulan Ramadhan di
Indonesia. Kali ini, saya ditempatkan di Gunung Kidul. Desa Cabean di Kacamatan
Tanjung Sari.
Saya perkenalkan
diri saya dahulu. Supaya anda bisa memahami perasaan dan situasi saya ketika di
MH. Saya berasal dari Singapura. Warga negara Singapura. Bahasa kerennya,
Singaporean. Bahasa seharian saya Bahasa Melayu Singapura atau Melayu Johor
Riau. Manakala bahasa komunikasi ketika berkomunikasi dengan bangsa lain atau
berurusan apa saja di sana menggunakan Bahasa Inggris. Walaupun saya sudah dua tahun
lebih di Indonesia, namun komunikasi saya dengan warga Indonesia masih belum terkoneksi.
Sejak dilahirkan,
saya tinggal di kota. Tinggal di rumah apartemen. Saya terbiasa dengan suasana
kota.
Inilah saya, anak
kota berasal dari negara Singapura yang diterjunkan di daerah pergunungan untuk
menyampaikan suatu misi, yaitu misi dakwah di tengan-tengah masyarakat
Gunung Kidul. Khususnya di Cabean.
Part 2: Pemberangkatan
Setelah tiga hari
pembekalan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), saya bersama
teman-teman seperjuangan menaiki bas yang telah disediakan oleh pihak yang berwenang
untuk mentransportasi kami ke Gunung Kidul. Perjalanan memakan masa yang cukup lama dan
memenatkan. Ia mengambil masa kira-kira dua jam. Setelah itu, kami singgah di Masjid Agung Al-Ikhlas dan beristirahat
di kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Gunung Kidul. Kemudian
masing-masing dari kami dijemput oleh bapak-bapak dari Pimpinan Cabang
Muhammadiyah (PCM) menuju ke tempat dakwah kami. Saya bersama Fahmi dan Nasir (teman
seangkatan) ditempatkan di Kacamatan yang Tanjung Sari.
Sedang perjalanan
menaiki mobil yang memakan masa selama 45 minit, hati saya tertanya-tanya
sambil berdoa ‘Ya Allah, janganlah meletakkan aku di pelosok’. Dimaklumi saja,
saya tidak terbiasa dengan kampong. Apalagi kalau ditempatkan di pelosok.
Ketika di mobil, kami
sempat berkenalan sama bapak yang menjemput kami. Namanya Pak Wasidi.
Beliau ketua PCM Tanjung Sari. Sambil berkenalan, ternyata Kacamatan Tanjung
Sari diberi da’i dari PUTM buat pertama kalinya. Alangkah gembira wajah Pak
Wasidi mendapat tiga da’i dari PUTM. Lebih-lebih lagi ada bersamanya orang Kudus yang
bisa berbahasa Jawa, orang Kuningan yang bisa berbahasa Sunda dan saya orang
Singapura yang bisa berbahasa Melayu dan Inggris.
Tiba-tiba, Pak
Wasidi pelahankan mobilnya, mobil memasuki ke jalan kecil yang di sebelahnya ada
gerbang yang tertulis Cabean. Hatiku berdebar-debar sambil mengatakan ‘Mintak-mintak
tak dalam sangat’. Baru saja beberapa meter dari jalan besar, Pak Wasidi
berhentikan mobilnyan dan berkata ‘Mas Khair, kamu di sini ya’. Subhanallah,
dingin hatiku mendengar kata-kata bapak tadi karena dekat dengan jalan dan
dekat tidak di pelosok. Tanpa membuang waktu, aku terus mengeluarkan tas dan
koper dari mobil dibantu oleh isteri Pak Umardi (Tuan rumah MH saya).
Part 3: Perkenalan
Saya ditempatkan di sebuah rumah kampung modern. Maksud saya,
rumah kampung yang sudah menggunakan batu bata. Subhanallah, saya diberikan
sebuah kamar khas untuk saya menginap di situ selama berdakwah di Cabean. Cukup
luas untuk barang-barang dan juga ulang kaji materi. Pokoknya, saya amat senang
dan selesa di kamar itu.
Seperti biasa,
setiap kali berkenalan dengan orang Yogya, mereka menggunakan bahasa Jawa.
Anehnya, saya masih sering bingung karena berbeda daerah, beda bahasanya. Ketika
saya berkenalan sama Pak Umardi, bahasa Jawalah yang digunakan olehnya. Seperti
biasa juga, saya bingung lalu tersenyum. Setelah menjelaskan semuanya, beliau
kelihatan gembira. Mungkin tidak menyangka bahwa ada anak PUTM yang berasal
dari negara tetangga bakal menginap di rumahnya selama 20 hari. Pak Umardi adalah seorang mantan kepala sekolah dan juga
mantan ketua PCM Tanjung Sari. Maka pantaslah jika dia sering mengetuai segala acara di Cabean karena hubungan beliau bersama warga dan pemerintah sangat
dekat.
Setelah
berkenalan sama Pak Umardi, saya dibawa ke Masjid Mujahidien. Hanya semenit
perjalan dari tempat tinggal saya yang baru. Waktu itu, mereka lagi mengecat
masjid yang baru saja direnovasi. Saya diperkenalkan sama remaja dan bapak-bapak
di sana. Sekali lagi, seperti biasa, mereka menggunakan bahasa Jawa. Namun, ia
tidak menjadi penghalang. Bahasa Indonesialah yang menjadi senjata saya untuk
berkomunikasi. Subhanallah, Allah sangat menyayangi hambanya. Di Cabean, banyak
yang bisa berbahasa Indonesia. Maka ini adalah manfaat sangat besar bagi saya
karena komunikasi adalah perkara paling penting ketika berdakwah.
Sambil bantu
mengecat dan membersihkan masjid, di situlah awal mulanya saya berkenalan
dengan mereka. Perkenalan bukan terhenti di situ, saya ke rumah-rumah dan
pengajian ibu-ibu sambil memperkenalkan diri, berbagi cerita dan lain-lain. Tidak
lupa satu hal yang paling penting. Yaitu jalan pagi. Waktu yang paling sesuai
untuk mengenal para remaja dan anak-anak sambil bermain mercon. For your
info (FYI), di negara saya tidak boleh bermain mercon.
Sumber utama perekonomian
mereka adalah pertanian. Salah satunya adalah ubi. Sebagiannya menjual lempeng
yang diperbuat dari ubi tersebut. Enak juga rasanya. Selain itu, pekerjaan warga
di Cabean bervariasi. Ada yang menjual sayur-sayuran, menyupir, mengajar dan
lain-lain. Bagi mereka, rezeki bisa dicari, yang penting adalah halal.
Saya tidak suka memposisikan diri saya sebagai
ustaz atau pun seorang pendakwah. Saya lebih selesa dipanggil Mas (hanya di
Indonesia sahaja) daripada ustaz atau gelar yang membuat saya tidak selesa.
Salah satu sebabnya supaya mudah bagi saya untuk berkomunikasi tanpa ada
pembatas yang membuat kita malu dan sebagainya. Yang membuat saya lebih selesa ketika banyak yang memanggil saya abang atau bro. :)
Pada malam pertama Ramadhan, saya diberi peluang untuk memperkenalkan diri saya di mimbar buat kali pertamanya di Cabean. Suasana sangat menyenangkan. Para jemaah kelihatan senang dengan berdirinya saya di hadapan mereka. Su'uzzan saya karena mendengarkan bahasa alien saya yang mungkin jarang sekali mereka mendengarkannya.
Pada malam pertama Ramadhan, saya diberi peluang untuk memperkenalkan diri saya di mimbar buat kali pertamanya di Cabean. Suasana sangat menyenangkan. Para jemaah kelihatan senang dengan berdirinya saya di hadapan mereka. Su'uzzan saya karena mendengarkan bahasa alien saya yang mungkin jarang sekali mereka mendengarkannya.
Hari demi hari,
keakraban saya bersama warga Cabean semakin erat. Alhamdulillah dengan adanya
Pak Sriyanto, seorang ustaz di situ sangat membantu saya dalam menjalani 20
hari di sana. Tidak lupa Pak Tukiman, ketua takmir Masjid Mujahidien yang sering
mengajak saya berdiskusi setelah salat tarawih dan bapak-bapak yang lain
seperti Lek dan Pak Udin yang suka bercanda dan bercerita.
Suasana sangat berdeda
dengan tempat lahirku. Suasana kampung yang pernah saya nonton di televisi terlihat
di depan mata saya sendiri. Sungguh nikmat karunia Allah yang telah menciptakan
manusia berdeda-beda bangsa, adat dan cara hidup. Saya sangat mensyukurinya.
Yang dinamakan
anak muda, sudah pasti tidak bisa berduduk diam. Maunya jalan-jalan dan
beraktifitas. Saya sempat ke beberapa pantai bersama para remaja di sana. Kita
jalan-jalan (maksud saya, naik motor) dari pantai ke pantai yang telah membuka mata saya bahwa betapa indahnya ciptaan Allah yang telah mencipta gunung dan lautan yang sangat cantik. Yang
paling membuat saya ingin ketawa ialah ketika hendak masuk gua. Walaupun sudah
beberapa kali mereka masuk, ternyata banyak yang merasa takut. Katanya di gua
banyak hewan berbahaya. Hmm… Ada logiknya juga ya. Hehe!
Selama di Cabean,
saya ditemani oleh seorang remaja yang baru saja selesai SMK. Mas Akhid telah
banyak membantu saya di sana. Kita saling berbagi informasi dan pengalaman. Dalam kesempatan yang singkat,
sempat juga dia belajar menggunakan laptop, video editor dan bermain Fifa 13
bersama saya. Dimaklumi saja ya. Anak muda….
Part 5: Masjid, Imam, Muazzin, Kultum dan TPA
Masyarakat Tanjung Sari tidak menyia-yiakan keberadaan saya di
sana. Saya pernah diundang untuk menghadiri rapat bersama asatizah seTanjung
Sari untuk membahaskan tentang masjid-masjid di sana. Masih tersimpan surat Ibu
Titi (salah satu ustazah dari Cabean) yang berbunyi: ‘Mas Choir; Nanti
Kepala Kantor Urusan Agama mau memperkenalkan Mas Choir dan nanti sharing
tentang TPA di sana (Singapura), pengalaman-pengalaman di sini, kesan pesan’. Saya juga diundang untuk mengikuti Tim Safari Tarawih bersama Pemerintah Kacamatan. Juga pernah diundang mengisi kultum di masjid MH Mas
Fahmi dan Nasir, juga diundang oleh PDM untuk menyampaikan kultun dan diskusi
bersama pengurus IPM di salah satu sebuah sekolah di Wonosari dan sebagainya.
MasyaAllah, saya diberi pengalaman berdakwah bersama orang-orang di luar Cabean
juga.
Menjaga
kebersihan masjid, menjadi imam salat fardu dan tarawih, muazzin dan kultum
adalah suatu perkara biasa bagi seorang da’i ketika MH. Namun, kesungguhan saya
untuk memberi suatu pengalaman manis bulan Ramadhan tahun itu kepada jemaah
sangat luar biasa sekali. Kultum yang bukan sahaja fokus pada materi, tetapi
sedikit cerita dan pengalaman menarik ketika di Cabean juga dijadikan bahan
berceramah. Tidak lupa kultum berbahasa Jawa, Melayu dan Inggris juga tidak
ketinggalan. Walaupun jemaah terlihat senang pada wajah mereka, tetapi pokok
inti materi harus disampaikan tepat pada sasarannya.
Salah satu
tantangan bagi saya ketika berhadapan dengan anak-anak baik di MH pertama dan
kedua adalah TPA. Salah satu kendalanya adalah bahasa. Ternyata, untuk berkomunkasi
bersama anak-anak, menggunakan bahasa baku saya ketika di pangku sekolah dahulu
ternyata lebih mudah diterima oleh mereka. Sedikit mencampurkan bahasa sinetron dan Jawa
lebih membuat mereka senang pada saya. Selain materi rutin seperti iqra’,
doa dan sebagainya, saya sempat menayangkan video kartun islami, memberi
penghargaan kepada para santri dengan memberi coklat dan hadiah buku kepada mereka. Selesainya
TPA, kita berbuka puasa bersama-sama di masjid. Bayangkan, anak-anak, remaja
dan ibu bapa semua berada di masjid menunggu saat azan dikumandangkan. Ketawa dan
tangisan mereka tidak dapat dilupakan.
Part 6: Perpisahan
Kehadiran saya di Tanjung Sari, khususnya di Cabean,
saya sangat dimanfaatkan oleh mereka. Kita sempat membuat grup di facebook, Keluarga
Cabean Tanjungsari. Alhamdulillah, para remaja, ibu bapa muda dan juga para
tokoh di sana telah menjadi member dalam grup tersebut dalam melanjuti ukhuwah bukan saja di
dunia nyata tetapi juga di dunia maya.
Tidak dinafikan,
pengalaman MH di Cabean sangat terkesan dalam hidup saya. Saya mengucapkan
ribuan terima kasih kepada Keluarga Pak Umardi karena sudi memfasilitasi saya,
menyediakan makanan dan minuman (setiap hari makanan yang berbeda) dan
sebagainya. Saya teringat ketika berbuka puasa di sebuah restoran bersama
bapak. Enak buanget!! :) Tidak lupa saya berterima kasih kepada seluruh keluarga Cabean karena
telah menerima kehadiran saya di sana. Semoga ukhuwah kita berkekalan.
.....
0 comments